Jakarta | CNN Celebes - Kepemilikan tanah menjadi salah satu isu yang kompleks di Indonesia. Dengan populasi yang terus bertambah dan pembangunan infrastruktur yang terus berlanjut, permasalahan kepemilikan tanah semakin relevan.
Tanah tidak hanya menjadi kebutuhan dasar untuk tempat tinggal dan pertanian, tetapi juga memiliki nilai ekonomi dan sosial yang tinggi. Oleh karena itu, persoalan kepemilikan tanah sering kali menimbulkan konflik antar individu, kelompok, bahkan pemerintah dengan masyarakat.
Girik merupakan surat pajak hasil bumi yang berfungsi sebagai bukti penguasaan suatu bidang tanah oleh individu.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, girik, sebagai bukti tanah adat, hanya dianggap sebagai petunjuk dalam proses pendaftaran tanah dan tidak diakui sebagai bukti kepemilikan.
Perlu dicatat, mulai tahun 2026, alat bukti bekas hak milik adat seperti girik akan dinyatakan tidak berlaku lagi, sesuai dengan ketentuan yang berlaku lima tahun setelah PP 18/2021 diterbitkan.
Berdasarkan undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) juga tidak mengakui girik sebagai bukti kepemilikan tanah.
Sebelum adanya UUPA, girik dan alat bukti tertulis lain atas tanah bekas adat merupakan tanda pembuktian hak milik tanah.
Baca Juga : Dugaan KDRT Berujung Maut: Polisi Geledah Rumah Mewah di Gowa untuk Selidiki Kematian Misterius Pria 49 Tahun
Kemudian setelah UUPA terbit, satu-satunya bukti kepemilikan tanah adalah sertifikat hak atas tanah.
Sementara girik hanya sebagai alat bukti permulaan untuk memperoleh hak atas tanah yang nantinya dibuktikan dengan dokumen sertifikat.
Dikutip dari nesiatimes.com, Rabu (30/10/2024), masyarakat bisa mengurus girik menjadi SHM melalui dua tahap, yakni di pengurusan kantor kelurahan dan kantor pertanahan.
Langkah pertama untuk mengurus girik menjadi SHM adalah mendatangi kantor kelurahan untuk mengurus dokumen berikut:
Surat Keterangan Tidak Sengketa
Pemilik girik harus memastikan bahwa tanah yang diurus bebas dari sengketa dan pemohon adalah pemilik sah.
Untuk membuktikannya, diperlukan surat keterangan bebas sengketa yang ditandatangani oleh saksi-saksi terpercaya, termasuk pejabat RT/RW atau tokoh adat setempat yang mengetahui riwayat kepemilikan tanah tersebut.
Surat Keterangan Riwayat Tanah
Pemohon perlu membuat Surat Keterangan Riwayat Tanah untuk menerangkan secara tertulis riwayat penguasaan tanah mulai dari pencatatan di kelurahan sampai dengan penguasaan sekarang ini.
Termasuk juga proses peralihan berupa peralihan sebagian atau keseluruhan karena biasanya tanah girik awalnya sangat luas kemudian dijual atau dialihkan sebagian.
Surat Keterangan Penguasaan Tanah Secara Sporadik
Surat Keterangan Penguasaan Tanah Secara Sporadik ini mencantumkan tanggal perolehan atau penguasaan tanah.
Baca Juga : Diduga Tambang Merusak Tatanan Aliran Air di Kawasan Waduk DAM Bili-Bili Kabupaten Gowa
9 Langkah untuk mengurus girik menjadi SHM dengan tahapan berikut:
1. Mengajukan Permohonan Sertifikat
Lampirkan dokumen-dokumen yang diurus di kelurahan dan lengkapi dengan syarat formal, yaitu fotokopi KTP dan KK pemohon, fotokopi PBB tahun berjalan, dan dokumen-dokumen lain yang disyaratkan oleh undang-undang.
2. Pengukuran ke Lokasi
Setelah berkas permohonan lengkap dan pemohon menerima tanda terima dokumen dari kantor pertanahan, tahap berikutnya adalah pengukuran.
Petugas melakukan pengukuran dengan ditunjukkan batas-batas tanahnya oleh pemohon atau kuasanya.
3. Pengesahan Surat Ukur
Hasil pengukuran di lokasi akan dicetak dan dipetakan di BPN dan Surat Ukur disahkan atau tandatangani oleh pejabat yang berwenang, pada umumnya adalah kepala seksi pengukuran dan pemetaan.
4. Penelitian oleh Petugas Panitia A
Setelah Surat Ukur ditandatangani dilanjutkan dengan proses Panitia A yang dilakukan di Sub Seksi Pemberian Hak Tanah.
Adapun anggota Panitia A terdiri atas petugas dari BPN dan lurah setempat.
5. Pengumuman Data Yuridis di Kelurahan dan BPN
Data yuridis permohonan hak tanah tersebut diumumkan di kantor kelurahan dan BPN selama enam puluh hari untuk memenuhi pasal 26 PP No. 24 Tahun 1997.
Dalam praktiknya, ini bertujuan untuk menjamin bahwa permohonan hak tanah ini tidak ada keberatan dari pihak lain.
6. Terbitnya SK Hak Atas Tanah
Setelah jangka waktu pengumuman terpenuhi, dilanjutkan dengan penerbitan SK hak atas tanah.
Tanah dengan dasar girik ini akan langsung terbit berupa Sertifikat Hak Milik (SHM).
7. Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB)
BPHTB dibayarkan sesuai dengan luas tanah yang dimohonkan seperti yang tercantum dalam Surat Ukur.
Besaran BPHTB ini tergantung pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan luas tanah.
BPHTB juga bisa dibayarkan pada saat Surat Ukur selesai, yaitu pada saat luas tanah yang dimohon sudah diketahui secara pasti.
8. Pendaftaran SK Hak untuk diterbitkan sertifikat
SK Hak kemudian dilanjutkan prosesnya dengan penerbitan sertifikat pada subseksi Pendaftaran Hak dan Informasi (PHI).
9. Pengambilan Sertifikat
Pengambilan sertifikat dilakukan di loket pengambilan dalam jangka waktu sekitar 6 bulan dengan catatan tidak ada persyaratan yang kurang.
Baca Juga : Belum Memiliki PBG, Zigma Grand Royal dan Graha Semesta Hentikan Pembangunan
Solusi dan Harapan
Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah nyata yang komprehensif.
Pertama, transparansi dan kejelasan informasi terkait kepemilikan tanah harus ditingkatkan melalui digitalisasi data pertanahan. Dengan adanya sistem informasi berbasis digital, masyarakat dapat lebih mudah mengakses informasi terkait status tanah yang mereka miliki.
Kedua, penguatan sosialisasi mengenai hak-hak atas tanah sangat diperlukan agar masyarakat, terutama di daerah terpencil, memiliki pemahaman yang baik mengenai kepemilikan tanah dan cara mengurus dokumen resminya.
Ketiga, diperlukan sinergi antara hukum formal dan hukum adat. Pemerintah perlu membuka ruang dialog dengan masyarakat adat untuk menemukan solusi yang adil terkait pengakuan atas tanah adat. Pemerintah juga dapat melakukan kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk lembaga non-pemerintah, untuk memberikan pendampingan hukum kepada masyarakat yang mengalami sengketa tanah.
Isu kepemilikan tanah di Indonesia bukanlah hal yang dapat diselesaikan dalam waktu singkat. Persoalan ini memerlukan kerjasama semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun pemangku kepentingan lainnya. Dengan perbaikan regulasi dan penguatan sosialisasi, diharapkan permasalahan kepemilikan tanah di Indonesia dapat diminimalisir sehingga masyarakat dapat hidup dengan tenang tanpa takut kehilangan hak atas tanah yang mereka miliki.